SUARA INDONESIA, BONTANG - Kota Bontang di Provinsi Kalimantan Timur dikenal sebagai pusat industri migas dan kondensat yang kaya. Namun, di balik hiruk-pikuk industri, terdapat sebuah permata pariwisata yang menjanjikan, yaitu Kampung Laut Bontang Kuala. Desa wisata ini tidak hanya menjadi destinasi wisata unggulan, tetapi juga sebuah model pemberdayaan masyarakat yang berhasil.
Sore itu, Jumat (26/7/2024), kami menelusuri keindahan destinasi ini. Kampung Laut Bontang Kuala dibentuk untuk memberdayakan masyarakat agar dapat berperan aktif dalam mengembangkan potensi pariwisata di wilayahnya.
Desa ini meraih predikat desa wisata berkat usaha warga dalam menjaga adat, budaya, dan kekerabatan khas nelayan Suku Bugis. Topografi desa yang terletak pada transisi darat ke laut dengan rumah panggung dan jalan dek kayu menarik minat wisatawan yang ingin merasakan kehidupan otentik masyarakat pesisir.
Wisatawan yang berkunjung ke Bontang Kuala terlihat penuh. Banyak mobil parkir di depan pintu masuk. Pengunjung dapat berjalan kaki sepanjang 3-4 kilometer di atas jembatan kayu atau menyewa Bentor (becak motor) dengan harga 10 ribu per orang.
Pembenahan infrastruktur terus dilakukan untuk memudahkan akses wisatawan. Perbaikan jalan kendaraan roda empat, perluasan lokasi parkir, dan pembangunan terminal di depan pintu masuk permukiman menjadi prioritas. Selain itu, tersedia resort yang dapat disewa bagi wisatawan yang ingin bermalam, serta kios-kios yang menjual produk ekonomi kreatif lokal, seperti kuliner dan kerajinan tangan.
Desa wisata ini menawarkan dua kegiatan utama: aktivitas masyarakat di perkampungan laut dan kawasan konservasi mangrove. Jalan di sepanjang permukiman dibuat dari kayu ulin, memberikan kesan alami dan tahan lama. Wisatawan dapat menikmati kehidupan sehari-hari masyarakat nelayan yang masih kental dengan adat dan budaya mereka.
Kawasan konservasi mangrove di Kampung Laut Bontang Kuala merupakan bagian dari Taman Nasional Kutai. Hutan bakau ini menjadi habitat bagi berbagai satwa seperti elang bondol, kuntul perak, raja udang, bekantan, dan kera ekor panjang. Jalan setapak sepanjang tiga kilometer yang dilengkapi menara pandang setinggi 20 meter memungkinkan wisatawan menikmati pemandangan Selat Makassar dan panorama matahari terbenam yang menakjubkan.
Keberadaan fasilitas ini tidak hanya memuaskan wisatawan, tetapi juga memberikan pemasukan tambahan bagi penduduk Kampung Laut Bontang Kuala dan meningkatkan sektor ekonomi lokal.
Sebagai pelopor desa wisata di Kalimantan Timur, Kampung Laut Bontang Kuala memiliki potensi besar untuk menjadi kawasan ekowisata yang mendukung pelestarian lingkungan. Dengan aktivitas masyarakat yang berkelanjutan dan upaya konservasi yang luar biasa, desa ini diharapkan dapat mengikuti jejak Desa Penglipuran di Bali atau Desa Pentingsari di Yogyakarta sebagai desa wisata yang diakui dunia.
Dengan segala keunikan dan keindahan yang ditawarkan, Kampung Laut Bontang Kuala menjadi destinasi wisata yang tidak hanya memanjakan mata, tetapi juga memberikan pengalaman mendalam tentang budaya dan kehidupan masyarakat pesisir. Semoga desa wisata ini semakin dikenal dan menjadi bagian penting dari khazanah pariwisata Indonesia, khususnya di Pulau Kalimantan.
Setelah puas menjelajahi keindahan Bontang Kuala, kami mencari tempat untuk bersantai. Pilihan kami jatuh pada Jimbaran Café, yang menawarkan pemandangan laut lepas yang menakjubkan. Tepat di sebelah kanan, terlihat beberapa penginapan yang disewakan oleh warga setempat.
Kami memilih tempat duduk dengan nomor meja 55, dan disambut ramah oleh pramusaji. "Mau pesan apa, Pak?" Terdapat 30 menu makanan dan 45 minuman yang menggoda selera. Kami memesan pisang keju dan singkong kres, serta kopi coklat susu. Harga yang ditawarkan sangat terjangkau, hanya 52 ribu untuk camilan dan minuman hangat.
Sambil menikmati sepoi angin laut, kami menyaksikan matahari perlahan terbenam, mengubah langit menjadi jingga. Suara azan magrib mulai berkumandang, dan kami pun melaksanakan salat magrib di mushola yang bersih dan wangi di dalam café. Air di sekitar mushola segar, tanpa bau dan kotor.
Usai salat magrib, kami kembali menikmati suasana sambil berbincang ringan bersama teman-teman wartawan di Bontang. Tak terasa waktu semakin malam, menunjukkan pukul 21.00 WITA. Akhirnya, kami pulang ke rumah masing-masing dengan perasaan senang dan puas. Sungguh, pengalaman menikmati senja di Bontang Kuala adalah kenangan yang tak terlupakan. (*)
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Mohamad Alawi |
Editor | : Mahrus Sholih |
Komentar & Reaksi